https://priangantimur.times.co.id/
Berita

Kritik Kinerja Legislasi DPRD Banjar, Posnu Desak Pengesahan Perda Pajak Daerah

Senin, 06 Oktober 2025 - 18:28
Kritik Kinerja Legislasi DPRD Banjar, Posnu Desak Pengesahan Perda Pajak Daerah Muhlison Soroti keterlambatan DPRD Kora Banjar sahkan Perda PDRD. (FOTO: Istimewa)

TIMES PRIANGAN TIMUR, BANJAR – Pembina Poros Sahabat Nusantara (Posnu) Kota Banjar, Muhlison, menilai kinerja anggota DPRD Kota Banjar setempat kurang produktif, khususnya dalam hal pembentukan peraturan daerah. Ia mendesak dewan untuk segera mengesahkan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).

Muhlison menekankan bahwa pengesahan perda tersebut sudah sangat mendesak, mengingat dampak signifikannya terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), terutama pada pos Pendapatan Asli Daerah (PAD). Ia juga menyoroti minimnya partisipasi masyarakat dalam berbagai agenda pembahasan perda, padahal keterlibatan publik dinilai crucial karena kebijakan ini langsung menyentuh kehidupan warga, terutama yang menjadi objek pajak dan retribusi.

“Kami meminta kawan-kawan di DPRD, khususnya Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda), untuk segera membahas dan mengesahkan Perda PDRD. Raperda ini sudah masuk sejak Agustus, namun hingga kini belum ada kejelasan. Alasannya tidak boleh lagi menunggu aturan pusat, karena UU dan PP-nya sudah terbit. Jangan sampai alasan studi banding yang klasik dikemukakan. Penyesuaian dengan aturan di atasnya harus segera dilakukan,” ungkap Muhlison kepada Times Indonesia, Senin (6/10/2025).

“Keterlibatan masyarakat, baik kelompok berkepentingan maupun yang peduli kebijakan publik, masih sangat minimal. Idealnya, mereka diajak berdiskusi agar produk perda yang dihasilkan lebih berkualitas,” tambahnya.

Lebih lanjut, Muhlison menjelaskan bahwa selain untuk menyesuaikan dengan regulasi yang lebih tinggi dan kondisi riil di lapangan, Perda PDRD juga akan menjadi acuan nomenklatur dalam postur APBD. Saat ini, tanpa dasar hukum yang jelas, pos-pos pendapatan seringkali dipindah-tangani, menimbulkan ketidakpastian.

Kondisi ini, menurutnya, berpotensi melanggar undang-undang dan rawan terhadap manipulasi PAD, sehingga membuat pos pendapatan menjadi kabur dan tidak sesuai dengan landasan hukum. Seharusnya, dengan diatur dalam perda, pos pendapatan menjadi tetap dan memiliki kepastian hukum.

“Seluruh aspek kehidupan masyarakat diatur oleh undang-undang dan perda, mulai dari tarif parkir, rawat inap di Puskesmas, retribusi kios pasar, hingga tarif sedot WC. Karena itu, mendesak sekali perda ini disahkan agar semuanya selaras dengan aturan di atasnya dan kondisi aktual,” tegasnya.

“Dalam postur APBD, harus jelas mana yang termasuk retribusi daerah, mana pajak daerah, dan mana PAD sah lainnya. Selama ini, semuanya bisa dipindah-pindah tanpa batas yang tegas. Ini berbahaya karena rawan pengaburan dan bisa bertentangan dengan aturan di atasnya. Kode rekeningnya sudah berbeda, jadi acuannya harus jelas,” lanjut Muhlison.

Muhlison lebih jauh menilai bahwa kinerja DPRD, khususnya Bapemperda, dalam melaksanakan tugas legislasi tergolong lamban dan kurang produktif. Berdasarkan penelusurannya, DPRD hingga saat ini hanya menyelesaikan satu dua perda, dan itupun diragukan kualitasnya karena minimnya transparansi dan pelibatan publik.

“Faktanya, DPRD baru mengesahkan satu dua perda. Itupun salah satunya adalah perda yang bersifat wajib dan rutin, seperti Perda APBD. Sementara perda-perda lain yang urgent kerjanya belum terlihat. Apakah mereka terlalu sibuk dengan urusan lain? Tugas utama sebagai legislator harus tetap dijalankan, itu adalah amanah,” tutur Muhlison.

“Kualitas perda yang ada juga dipertanyakan. Kita lihat dari Perda Ketenagakerjaan, dimana poin-poinnya tidak menyentuh persoalan kaum buruh. Sangat disayangkan. Pembahasan perda menggunakan anggaran rakyat, bahkan ada studi banding yang hasilnya nol. Sebut saja, apa hasil konkret studi banding untuk menangani solusi sampah? Yang ada justru kerjasama dengan PT Top Tekno Hejo yang merugikan warga. DPRD tidak terdengar langkah solutifnya,” imbuhnya.

Di akhir pernyataannya, mantan Ketua PMII Kota Banjar itu mempertanyakan tingginya biaya beberapa layanan kesehatan di Banjar jika dibandingkan dengan kabupaten/kota sekitarnya. Hal ini diduga akibat tidak adanya kepastian hukum dalam perda dan perwal, sehingga berimbas pada hilangnya potensi pendapatan daerah dari sektor kesehatan.

“Beberapa biaya layanan kesehatan di sini selisihnya jauh dengan daerah tetangga. Contohnya, tes psikologi dan kesehatan di RSUD. Rata-rata masyarakat yang membutuhkan persyaratan kesehatan untuk berbagai keperluan, seperti caleg atau BAZNAS, lebih memilih berobat ke luar Banjar. Sistem tatakelolanya harus dievaluasi, karena ini diatur dalam perda dan perwal,” tegas Muhlison.

“Akibatnya, potensi pendapatan kita hilang. Ini baru dari satu sektor kecil. Sebagai bagian masyarakat, kami meminta eksekutif dan DPRD lebih responsif dan tidak mengabaikan hal ini,” pungkasnya.

Tanggapan Ketua Pansus VIII

Menanggapi kritik tersebut, Ketua Pansus VIII DPRD Kota Banjar, Cecep Danu Sofian, mengungkapkan bahwa pembahasan intensif Raperda PDRD baru dapat dimulai pada 25 September lalu. Proses ini berjalan setelah Raperda disampaikan oleh eksekutif dalam Sidang Paripurna pada 15 Agustus.

“Kami juga menyayangkan keterlambatan ini, namun proses harus dijalankan. Kami menunggu proses harmonisasi, dan data untuk harmonisasi itu sendiri baru masuk beberapa pekan setelah paripurna,” ujarnya.

Cecep menjelaskan bahwa proses harmonisasi baru bisa dilaksanakan pada awal September dan selesai di pekan terakhir bulan yang sama. Oleh karena itu, Pansus VIII baru dapat memulai pembahasan dan kajian terhadap Raperda PDRD pada 25 September.

Setelah harmonisasi selesai, Pansus segera melakukan ekspos dan serangkaian rapat untuk membahas Raperda PDRD, yang dilanjutkan dengan konfirmasi kepada seluruh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang terkait.

“Kemudian, kajian internal dan masukan dari masyarakat. Pansus masih akan membahas apakah perlu melibatkan kajian dan masukan masyarakat untuk beberapa aspek Raperda,” imbuhnya.

Poin-Poin Perubahan PDRD

  • Perubahan mengikuti arahan Dirjen, yang mencakup penghapusan, penambahan, serta perubahan tarif.

  • Kebijakan politis Wali Kota, dimana masih ada aspek perubahan tarif yang akan ditentukan melalui keputusan Wali Kota Banjar.

  • Prosedur lanjutan setelah pembahasan internal Pansus, yang masih memerlukan proses fasilitasi lebih lanjut.

Ketua Pansus VIII menegaskan komitmennya untuk segera menyelesaikan pembahasan Raperda PDRD ini, meski mengakui adanya keterlambatan dalam proses yang telah berjalan.

"Pansus akan segera menyelesaikan karena pembahasan itu lamanya prosedur saat ini setelah pembahasan kita masih harus fasilitasi," ujarnya.

Dengan demikian, proses legislasi Raperda PDRD di Kota Banjar masih terus berlanjut, dengan harapan dapat mengakomodasi kebutuhan daerah dan sesuai dengan regulasi yang berlaku. (*)

Pewarta : Sussie
Editor : Faizal R Arief
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Priangan Timur just now

Welcome to TIMES Priangan Timur

TIMES Priangan Timur is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.