TIMES PRIANGAN TIMUR, JAKARTA – Realitas yang tak terbantahkan bahwa panggung politik dan sosial Indonesia kerap diselimuti awan ketidakstabilan. Kita menyaksikan tarik ulur kebijakan yang memicu pro dan kontra berkepanjangan, seringkali berakhir dengan tajamnya polarisasi.
Fenomena ini, mulai dari revisi undang-undang yang kontroversial hingga kegaduhan di ranah media sosial yang merambah isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), hingga keadilan yang tidak merata menunjukkan betapa rapuhnya fondasi kebersamaan bangsa.
Terlebih masih mengakarnya sebagian sikap ekstremisme baik dalam bentuk intoleransi agama, politik identitas, maupun sikap konservatif yang menolak kemajuan, menjadi potensi bahaya laten yang dapat merusak sendi-sendi negara.
Alhasil, di tengah turbulensi ini, perlu adanya nilai luhur sebagai pijakan dalam bertindak yang mampu menjaga keseimbangan bernegara. Saya menyebutnya sebagai "Moderasi Bernegara".
Konsep ini hadir sebagai kompas etika dan politik yang menuntut setiap elemen bangsa, baik pemimpin maupun rakyat, untuk mengambil jalan tengah yang adil dan beradab.
Memahami Jalan Tengah Bernegara
Meskipun istilah Moderasi Bernegara (State Moderation) jarang digunakan secara eksplisit dalam diskursus akademis formal dibandingkan dengan "Moderasi Beragama", namun esensinya esensinya dapat dipotret secara akademik sebagai kristalisasi sikap Tawassut (jalan tengah, moderat). Istilah ini yang melampaui batas-batas keyakinan pribadi dan diaktualisasikan dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara yang majemuk.
Moderasi Beragama (seperti yang digagas oleh Kementerian Agama) berfokus pada cara pandang, sikap, dan praktik beragama yang menghargai martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum, berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi.
Sementara itu, Moderasi Bernegara adalah perwujudan sikap moderat tersebut dalam kerangka kehidupan publik dan politik. Nilai-nilai yang terkadung dalam moderasi bernegara setidaknya ada tiga hal penting.
Pertama, komitmen kebangsaan: Ini dapat diartikan sebagai kesetiaan yang teguh pada Pancasila dan UUD 1945 sebagai konsensus bersama.
Kedua, toleransi politik: yaitu kesiapan menerima perbedaan pandangan, hasil pemilu, dan kebijakan yang sah secara hukum, tanpa menggunakan kekerasan atau cara-cara inkonstitusional. Ketiga, keseimbangan dalam aksi: menghindari sikap ekstrem baik di sisi status quo yang otoriter maupun di sisi oposisi yang radikal dan destruktif.
Singkatnya, Moderasi Beragama menjadi fondasi etik di ranah keyakinan, sedangkan Moderasi Bernegara adalah penerapan fondasi etik tersebut dalam praktik politik, hukum, dan sosial-budaya.
Menambatkan Jalan Tengah
Jalan tengah (al-Wasatiyyah) bukanlah konsep baru. Dalam tradisi keilmuan Islam (Turats), konsep ini berakar kuat dari firman Tuhan: "Demikianlah Kami jadikan kamu umat pertengahan (Ummatan Wasathan)" (QS. Al-Baqarah: 143).
Tokoh moderat kontemporer Indonesia, seperti KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), sangat getol dalam menekankan nilai-nilai keislaman yang sejati dalam bentuk inklusif dan berdialog dengan realitas kebangsaan.
Secara akademis, konsep ini sejalan dengan teori politik tentang Demokrasi Deliberatif (mengedepankan dialog rasional) dan perspektif hukum tentang Supremasi Hukum (kepatuhan pada konstitusi dan hukum yang berlaku), serta teori sosiologi tentang Pluralisme (pengakuan dan penghormatan aktif terhadap perbedaan).
Misalnya, pakar hukum tata negara meyakini bahwa demokrasi hanya akan sehat jika didukung oleh budaya politik toleran, yaitu sebuah manifestasi dari moderasi bernegara.
Potret Demografi dan Kualitas Bernegara
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) hingga September 2025, jumlah penduduk Indonesia diperkirakan mencapai sekitar 284,44 juta jiwa. Mayoritas penduduk (sekitar 55,58%) terkonsentrasi di Pulau Jawa. Keragaman demografi yang masif ini adalah kekayaan, namun sekaligus tantangan terbesar bagi moderasi bernegara.
Mengenai data pemangku negara dan masyarakat yang melek bernegara secara ideal, hasil survei sering menunjukkan adanya kesenjangan antara komitmen normatif dan praktik nyata. Meskipun mayoritas masyarakat Indonesia mendukung demokrasi (komitmen kebangsaan), survei tentang Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) kerap menunjukkan penurunan di aspek kebebasan sipil dan partisipasi politik.
Data riset tersebut menunjukkan bahwa, persentase masyarakat yang toleran tinggi, tetapi angka intoleransi sosial (misalnya, penolakan pendirian rumah ibadah) masih mengkhawatirkan di beberapa daerah.
Selanjutnya, literasi politik masyarakat (kemampuan memahami dan mengevaluasi kebijakan publik) masih perlu ditingkatkan agar mereka tidak mudah terprovokasi isu-isu populis atau SARA, yang merupakan ciri khas kegagalan moderasi bernegara.
Implementasi Moderasi Bernegara di Indonesia
Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, Indonesia memiliki modal besar untuk menerapkan moderasi bernegara, terutama karena didukung oleh organisasi keagamaan besar yang secara historis moderat.
Namun, implementasinya masih menghadapi hambatan serius. Seperti halnya polarisasi politik. Pemilu beberapa waktu terakhir memunculkan jurang pemisah yang dalam, di mana kelompok yang kalah sulit menerima hasil dan terus menyerang legitimasi pemenang.
Ini adalah bentuk ekstremisme politik yang bertentangan dengan prinsip berimbang dalam moderasi. Kemudian, krisis kepercayaan publik. Tarik-ulur kebijakan yang terlihat tunduk pada kepentingan elite (oligarki) menimbulkan pro-kontra masyarakat dan merusak kepercayaan terhadap institusi negara.
Pemimpin negara, yang seharusnya menjadi wasit adil dalam keragaman, justru sering terlihat berpihak, memicu respons masyarakat yang juga ekstrem dalam bentuk protes berlebihan atau apatisme total.
Indikator keberhasilan Moderasi Bernegara di Indonesia akan berhasil jika pemimpin negara mampu menjadi teladan dalam mengambil kebijakan yang adil dan transparan (prinsip ’I’tidal), mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan golongan.
Lalu didukung oleh masyarakat yang mampu menyalurkan aspirasi melalui jalur konstitusional dan dialogis, menolak kekerasan dan fitnah, serta menerapkan toleransi substansial di ranah sosial dan politik.
Jika kita gagal menambatkan moderasi bernegara, ancaman kerusakan bukan lagi sekadar potensi, melainkan keniscayaan. Kita harus kembali mengingat jatidiri bangsa. Negara ini didirikan atas dasar kesepakatan untuk hidup dalam kemajemukan di bawah payung Pancasila.
Moderasi Bernegara adalah satu-satunya jalan untuk memastikan kapal Republik ini berlayar dengan damai, tidak terombang-ambing oleh gelombang ekstremisme, permainan pemimpin negara dan percaturan politik. Mari kita jadikan sikap moderat bukan hanya sebagai cara beragama, tetapi sebagai gaya hidup bernegara yang berintegritas. (*)
***
*) Oleh : Ali Mursyid Azisi, Founder The Indonesian Foresight Research Institute (IFRI), Pemerhati Sosial-Politik.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Menambatkan Moderasi Bernegara
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |