TIMES PRIANGAN TIMUR, JAKARTA – Tidak menjawab telepon. Tidak membalas pesan. Tidak ada penjelasan. Inilah cara paling modern mengakhiri hubungan, dengan menghilang begitu saja, seolah-olah orang lain dan perasaannya tidak pernah ada.
Inilah fenomena ghosting atau no contact (memutus komunikasi total), seni modern menghilang tanpa jejak yang dianggap lebih "dewasa" daripada berkata jujur: "Saya tidak ingin melanjutkan hubungan ini."
Fenomena ini tidak terbatas pada aplikasi kencan. Karyawan yang mulai menghindari atasan setelah ditegur. Teman yang tiba-tiba susah dihubungi ketika kita komplain. Saudara yang tidak bicara berbulan-bulan karena berbeda pandangan politik. Ghosting, silent treatment (mendiamkan orang lain), dan stonewalling (menutup diri dan menolak membahas masalah) telah merambah ke berbagai aspek kehidupan sosial kita.
Era digital memperparah situasi ini. Kita terbiasa dengan interaksi yang bisa dikontrol sepenuhnya, blokir, unfollow, delete. Ketika harus menghadapi konflik nyata yang tidak bisa di-undo, kebingungan dan penghindaran menjadi pilihan utama. Budaya "swipe left/right" menciptakan mentalitas bahwa hubungan manusia bisa diganti dengan mudah ketika tidak lagi nyaman.
Bersamaan dengan itu, perilaku manipulatif seperti gaslighting (memutarbalikkan fakta untuk membuat orang lain meragukan dirinya) semakin dinormalisasi. "Kamu terlalu sensitif" atau "Saya tidak pernah bilang begitu" menjadi respons umum ketika seseorang mempertanyakan tindakan kita.
Perilaku-perilaku ini adalah red flag (tanda bahaya) dalam hubungan yang sering diabaikan. Ketika ketahuan berbuat salah, strategi beralih ke playing victim (berperan sebagai korban), memposisikan diri sebagai pihak yang paling menderita sambil mengabaikan dampak pada orang lain.
Pola penghindaran ini sering berakar pada pengalaman masa kecil. Generasi yang tumbuh dengan ajaran "anak baik tidak boleh ribut" atau "diam saja, nanti selesai sendiri" cenderung tidak memiliki keterampilan mengekspresikan ketidaksetujuan dengan sehat. Mereka belajar bahwa konflik berbahaya dan harus dihindari dengan cara apapun.
Regulasi emosi yang buruk juga berperan signifikan. Ketika menghadapi konflik, beberapa individu merasa kewalahan secara emosional hingga percakapan sulit terasa seperti ancaman besar. Respons fight-flight-freeze (lawan-lari-membeku) terpicu, dan pilihan yang dipilih adalah "freeze", mematikan komunikasi sepenuhnya.
Budaya kontemporer yang mengidolakan kenyamanan dan menghindari "drama" menciptakan generasi yang tidak tahan banting secara emosional. Ironisnya, di era yang mengklaim menghargai kesehatan mental, kita justru menciptakan epidemi isolasi emosional.
Konflik dianggap tanda hubungan toxic (hubungan beracun), padahal konflik yang dikelola dengan baik adalah pendorong pertumbuhan hubungan. Perilaku passive aggressive (agresif terselubung) pun semakin umum, seperti memberikan respons singkat atau sengaja terlambat membalas pesan sebagai bentuk protes diam-diam.
Dampaknya merugikan semua pihak. Korban ghosting mengalami trauma ditinggalkan yang mempengaruhi kemampuan membentuk hubungan sehat di masa depan. Mereka mengembangkan keraguan diri yang mendalam dan kesulitan mempercayai orang lain.
Di sisi lain, pelaku penghindaran juga menderita kerugian jangka panjang. Meski tampak "menang" dengan menghindari konfrontasi, mereka justru mengikis kapasitas empati dan keterampilan relasional. Setiap penghindaran memperkuat pola yang membuat intimasi emosional semakin tidak nyaman.
Pola ini menciptakan lingkaran yang merugikan. Setiap kali kita "berhasil" menghindari masalah, pikiran mencatat strategi ini sebagai efektif. Padahal masalah sesungguhnya tidak hilang, hanya ditunda dan biasanya menjadi lebih kompleks.
Solusi untuk masalah ini membutuhkan perubahan pada berbagai level. Sistem pendidikan harus memasukkan literasi emosional sebagai komponen penting kurikulum. Lingkungan kerja perlu mengembangkan mekanisme resolusi konflik yang konstruktif.
Pada level personal, kita perlu melatih ketahanan menghadapi ketidaknyamanan emosional. Daripada ghosting, belajar mengatakan: "Saya butuh waktu memproses ini, bisa kita bicara besok?" Daripada silent treatment, sampaikan: "Saya sedang marah dan belum siap bicara, tetapi kita perlu membahas ini nanti."
Kedewasaan emosional sejati bukan tentang tidak pernah mengalami marah atau kecewa. Ini tentang keberanian tetap hadir dalam kompleksitas hubungan manusia dan memberikan kesempatan untuk saling memahami. Hubungan yang bermakna tidak lahir dari zona nyaman, tetapi dari keberanian menghadapi ketidaknyamanan bersama-sama.
"Menghilang tanpa jejak mungkin terasa aman, namun justru dalam keberanian menghadapi ketidaksempurnaan itulah kemanusiaan sejati terwujud." (*)
***
*) Oleh : Fx. Wahyu Widiantoro, Staf Pengajar Psikologi UP45.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Menghindar dari Tanggung Jawab Emosional
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |