TIMES PRIANGAN TIMUR, JAKARTA – Hiruk pikuk Pilkada sudah mulai terasa, hal tersebut ditandai dengan semakin intensifnya para elit politik lokal untuk menjalin komunikasi politik guna mengusung calonnya. Kondisi tersebut bagi orang awam seperti sebuah kebaikan dimana rasa rukun dan kebersamaan antar elit. Namun taukah anda bahwa dibalik silaturahmi dan komunikasi tersebut ada rundingan kecil untuk membahas kue kue yang harus di sediakan pada penguasa yang di atas.
Ritual Pilkada yang dilakukan setiap lima tahun sekali memiliki sejuta kisah yang identik dengan drama kolosal. Ibarat drama Korea semua ditata dengan apik mulai dari lokasi pemain bahkan isi cerita didesain sangat menarik dan indah. Sebagian masyarakat sebenarnya sudah apatis dengan ritual pilih memilih, karena mereka berpendapat yang dipilih pasti mengeluarkan modal dan modal yang dikeluarkan ingin kembali plus untung.
Mencari Bupati atau Gubernur yang menggunakan nol rupiah kelihatannya hampir tidak ada. Semua pasti menggunakan uang dalam jumlah besar. Proses mewujudkan seorang kepala daerah seperti lingkaran setan. Lingkaran setan adalah rangkaian peristiwa kompleks yang diperkuat melalui putaran umpan balik, dengan akibat yang merugikan. Lingkaran setan adalah sebuah sistem yang tidak memiliki kecenderungan menuju keseimbangan dan kebaikan.
Al kisah di negeri Antah Berantah, kira kira tahun 2009, ketua dpp sebuah partai menjual 1 kursi untuk dukungan mendaftarkan pasangan bupati diminta bayar 250 juta, itu belum dpc yang harus dikasih kopi-kopi. Di tahun 2024 negeri antah-berantah, DPP sebuah partai minta 1 kursi 500 juta. Sungguh kenaikan yang fantastis.
Itulah realita politik yang harus dijalani oleh siapapun yang pengen mendaftarkan lewat partainya. Kita bisa menghitung jika yang dibutuhkan 10 kursi, maka uang sungguhan yang harus disiapkan adalah 5 M. Terus berapa kebutuhan lain yang harus dikeluarkan !! Selamat membayangkan sendiri.
Drama dibalik layar ritual Pilkada melebihi hitungan mistis seorang paranormal, ini yang selalu menjadi problem di negeri antah-berantah. Pertanyaannya apakah bisa negeri antah berantah akan mendapatkan bupati yang baik? Jawabnya jelas tidak bisa. Bupati yang baik hanya ada dalam mimpi.
Berangkat dari cerita negeri antah berantah, negeri atas angin harus merubah pola pikir pemimpin yang di atas bagaimana tidak seperti Monster yang akan memakan apa saja. Jika pemimpin yang di atas tidak sadar dan ingin kebaikan rakyat dan pemerintahannya, maka sebuah kehancuran yang akan terjadi. Rakyat diam bukan berarti bodoh, tapi rakyat diam menahan beban kecewa yang suatu saat akan dikeluarkan, dan itu berbahaya.
Pengalaman di beberapa negara di dunia, yang pemimpinnya dzolim dan tidak menegakkan keadilan, rakyat akan demonstrasi bahkan melakukan revolusi. Jika rakyat sudah bergerak, maka dampaknya akan merugikan seluruh rakyat dan pemerintah yang ada.
Kita berusaha memperbaiki pemimpin yang dzolim dengan, pertama menasehatinya dengan hikmah dan pelajaran yang baik agar ia kembali kepada Allah 'Azza wa Jalla. Kedua, tidak menaatinya sampai penguasa itu taat kembali kepada Allah dan rasulNya. Ketiga, mencopotnya dari jabatannya.
Begitu beratnya resiko sosial dan politik pemimpin yang dlolim, semoga para bupati dan gubernur yang akan di pilih disebuah negara yang namanya Indonesia tahun 202 tidak seperti di negeri antahbrantah. Amin
***
*) Oleh : HM Basori M.Si, Direktur Sekolah Perubahan, Training, Research, Consulting, and Advocasy.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Mencermati Ritual Pilkada antara Drama dan Realita
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |