TIMES PRIANGAN TIMUR, BANYUWANGI – Tabungan Perumahan Rakyat yang disingkat menjadi Tapera, menjadi buah bibir rakyat seantero Indonesia. Program yang digadang oleh pemerintah menjadi salah satu solusi perumahan bagi para pekerja bukan mendapatkan respon positif tapi banyak respon negatif dari masyarakat menyuarakan penolakan.
Sebelum mengulas lebih jauh maka kita harus tahu apa sebenarnya tabungan itu, Dalam konteks perbankan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjelaskan definisi tabungan adalah simpanan uang di bank yang penarikannya hanya dapat dilakukan apabila telah memenuhi syarat tertentu.
Keberadaan tabungan bersifat sukarela tanpa adanya paksaan. Tapera diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera, yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 20 Mei 2024.
Polemik Tapera ini menjadi isu publik di akhir pemerintahan Joko Widodo, kesan keberadaan tabungan yang sederhana dan sukarela menjadi kewajiban bagi semua pekerja dari yang awalnya hanya untuk ASN kini merambah untuk semua pekerja baik pekerja swasta maupun pekerja mandiri. Tentu ini menjadikan keharusan maka tentu akan berbeda dengan makna tabungan itu sendiri, sehingga kebijakan ini menjadi iuran karena berbunyi kewajiban.
Pemerintah harus menjelaskan dengan terang benderang, karena pemotongan Tapera ini dengan rincian 2,5 % dari gaji dan sisanya 0,5 % dibayar pemberi kerja. Bagi pekerja tentu bukan hanya ini saja yang harus di pikirkan ada juga potongan BPJS, pajak yang juga jadi keharusan saat ini.
Pemerintah perlu mengkaji ulang kebijakan Tapera ini, tak kurang para netizen, buruh dan berbagai unsur masyarakat menolak kebijakan ini, tentu harus di kaji dan tidak di paksakan oleh pemerintah karena ini sifatnya tabungan tentu harusnya sukarela, bukan diwajibkan dan malah di beri sanksi.
Sosialisasi yang melibatkan stakeholder buruh dan pekerja ini harusnya lebih intens dilakukan sebelum kebijakan ini diberlakukan oleh pemerintah, sehingga informasi tentang Tapera, skema pembiayaan dan pilihan perumahan bisa diketahui dengan baik oleh para stakeholder khususnya para pekerja dan pengusaha yang menjadi subjek kebijakan ini tentu akan semakin membebani bagi dunia usaha dan pekerja dan ini bisa memicu persoalan lain kalau di teruskan diantaranya bertambahnya pengangguran dan besarnya kemungkinan PHK.
Keseriusan pemerintah terhadap Tapera ini harus segera dilakukan agar polemik ini tidak berlarut-larut dan akhirnya di-hold oleh pemerintah seperti kenaikan UKT di perguruan tinggi. Program Tabungan Perumahan Rakyat ini seakan mempertegas kegagalan pemerintah dalam menyelenggarakan perumahan murah layak huni untuk masyarakat khususnya para pekerja, sehingga para pekerja yang kini disasar untuk membantu peran pemerintah.
Jadi, sudah saatnya Pemerintah mengajak semua unsur masyarakat berembuk bersama untuk menyelesaikan dan mensosialisasikan permasalahan Tapera. Sebelum permasalahan ini clear, maka seharusnya pemerintah berbesar hati untuk menunda keputusan tentang Tapera ini sampai ada titik terang dan keputusan yang saling memberikan manfaat bagi masyarakat dan pemerintah. (*)
***
*) Oleh : Fajar Isnaeni, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Ekonomi UNTAG Surabaya dan Sekretaris PC Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama Kab. Banyuwangi.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Tapera, Tambahan Beban Baru bagi Rakyat
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |