TIMES PRIANGAN TIMUR, MALANG – "Kue ini dari Bugis, namun besar di Tebuireng, sini. Disyukuri aja Yi, di mana aja yang penting bisa disyukuri, seperti pesan Mbah saya yang pertama kali membuat kue ini di Tebuireng," ucap Arif, penjual Kue Legend Mbok Na di Tebuireng, tak jauh dari arena Konferwil NU Jatim di Pesantren Tebuireng, Jombang, Jatim.
Di lokasi ini memang ada kue legendaris dengan warna-warni yang mencerminkan kehidupan manusia dan simbol syukur. Kue ini terdiri dari tiga warna: hijau (rasa pandan), putih (original), dan kuning (rasa nangka).
Konon, kata Arif, lapisan hijau melambangkan kesuburan dan harapan. Sebuah pengingat bahwa dalam hidup, selalu ada ruang untuk tumbuh dan berkembang. Lalu, lapisan putih melambangkan kesucian hati dan niat yang tulus. Hati yang bersih adalah kunci untuk menjalani hidup dengan penuh syukur.
Terakhir, lapisan kuning melambangkan kebahagiaan dan kehangatan. Kebahagiaan sejati datang dari penerimaan akan diri sendiri dan peran sebagai hamba yang ikhlas. Ketiga lapisan ini, bila disatukan, mencerminkan kehidupan yang harmonis, penuh dengan syukur dan penerimaan.
Awal dari Segala yang Fana
Dalam perjalanan hidup, langit sering kali terlihat luas dan tak terbatas. Mata memandang jauh ke cakrawala, hati merasa mampu meraih segala yang diinginkan. Namun, di balik kemegahan itu, ada satu kenyataan yang sering terlupa: manusia hanyalah hamba, tidak lebih. Kita tidak memiliki dunia ini, hanya menumpang untuk sejenak.
Hidup di dunia ini bagaikan sebuah sandiwara di panggung yang besar. Peran-peran yang kita mainkan datang dan pergi, tak pernah abadi. Sehebat apapun lakon yang kita perankan, akhir cerita sudah ditetapkan. Bukan kita yang menentukan kapan tirai ditutup. Dalam bayangan kemegahan dunia, ada yang lebih besar dan abadi yang mengatur segala hal, dan kita hanyalah butiran debu dalam tatanan kosmis yang luas.
Keangkuhan adalah musuh terbesar dalam perjalanan hidup. Ia merayap pelan, masuk dalam relung hati yang paling dalam. Keangkuhan membuat seseorang merasa berhak atas segala yang ada, lupa akan hakikat diri sebagai hamba.
Padahal, setiap orang memiliki jatah untuk jatuh, sebuah momen yang ditetapkan untuk menyadarkan bahwa manusia tidak lebih dari sekadar hamba. Mengambil langkah yang seolah-olah kita pemilik dunia ini hanya akan membawa pada kehancuran.
Setiap kali manusia jatuh, ada pelajaran berharga yang bisa diambil. Ibarat pohon yang diterpa angin kencang, akarnya akan semakin kuat mencengkeram tanah. Begitu pula dengan manusia, setiap kali jatuh dan bangkit kembali, ia akan menjadi pribadi yang lebih kuat dan bijak. Kejatuhan bukanlah akhir, melainkan awal dari kebangkitan yang lebih gemilang.
Kebijaksanaan dalam Kerendahan Hati
Kebijaksanaan sering kali ditemukan dalam kerendahan hati. Seperti sungai yang mengalir tenang, tidak menampakkan kekuatannya namun mampu mengikis batu besar perlahan. Kerendahan hati membawa pada penerimaan bahwa kita adalah bagian kecil dari sesuatu yang lebih besar. Dengan menyadari peran sebagai hamba, manusia dapat menjalani hidup dengan lebih ikhlas dan penuh syukur.
Jalan yang benar adalah jalan yang penuh dengan kesadaran akan keterbatasan diri. Menjalani hidup dengan rendah hati, tidak merendahkan orang lain, dan selalu siap untuk membantu. Keangkuhan adalah jalan menuju kehancuran, sementara kerendahan hati adalah jalan menuju kebahagiaan sejati. Dengan menempatkan diri sebagai hamba, manusia dapat merasakan kedamaian yang sesungguhnya.
Refleksi dari Alam, Sebuah Akhir yang Pasti
Alam sering kali memberikan refleksi yang dalam tentang kehidupan. Pohon yang tinggi menjulang bukan karena ingin menunjukkan kekuasaannya, tetapi karena ia berakar kuat dan tumbuh dalam kesunyian. Gunung yang kokoh tidak goyah oleh badai, namun tetap berdiri tegar dalam kebisuan. Begitu pula dengan manusia, kekuatan sejati terletak pada kerendahan hati dan penerimaan akan peran sebagai hamba.
Pada akhirnya, setiap manusia akan kembali kepada Sang Pencipta. Dunia ini hanyalah tempat persinggahan sementara. Tidak ada yang abadi kecuali Dia yang Maha Kuasa. Dengan menyadari hal ini, manusia dapat menjalani hidup dengan lebih tenang dan penuh makna. Tidak ada gunanya bersikap angkuh, karena semua yang ada di dunia ini hanyalah titipan.
Ekspedisi Batin dari Konferwil
Dalam perjalanan hidup, jangan pernah angkuh. Setiap orang memiliki jatah untuk jatuh; sebuah momen untuk menyadarkan kita akan hakikat diri sebagai hamba. Jangan melangkah seolah-olah pemilik dunia, karena kita hanyalah penumpang sementara. Dengan rendah hati dan penuh syukur, menjalani hidup dengan bijaksana akan membawa pada kebahagiaan sejati. Jadilah seperti sungai yang mengalir tenang, kuat namun tidak menonjolkan diri. Ingatlah selalu, bahwa peran kita di dunia ini hanyalah sebagai hamba, tidak lebih.
Semoga setiap langkah yang diambil penuh dengan kesadaran dan kerendahan hati. Hiduplah dengan bijak, dan jangan pernah lupa akan hakikat diri sebagai hamba. Dunia ini bukan milik kita, kita hanya menumpang sejenak dalam perjalanan menuju keabadian. Selamat ber-Konferwil NU Jatim. (*)
* Penulis adalah peserta Konferwil NU Jatim dari PCNU Kota Malang
Pewarta | : |
Editor | : Deasy Mayasari |