TIMES PRIANGAN TIMUR, JAKARTA – Koalisi Masyarakat Sipil yang merupakan gabungan dari Raksha Initiatives, Centra Initiative, Imparsial dan De Jure menyampaikan sejumlah permasalahan yang akan mengancam demokrasi dan negara hukum dalam substansi materi Rancangan Undang-undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS) yang disusun oleh Pemerintah.
Dalam hal perumusan tujuan KKS, Koalisi Masyarakat Sipil menilai rancangan legislasi RUU KKS ini masih mencampuradukkan antara kebijakan keamanan siber dan kejahatan siber, dengan munculnya sejumlah tindak pidana baru.
Koalisi Masyarakat Sipil menerangkan legislasi keamanan siber seharusnya semata-mata menggambarkan pengimplementasian pendekatan teknis guna mengamankan suatu sistem komputer dari serangan dan kegagalan sistem.
Sedangkan prinsip utama dari kejahatan siber adalah mengkriminalisasi tindakan pengaksesan secara tidak sah ke sistem komputer dengan maksud kriminal tertentu, untuk akhirnya mencegah kerusakan atau perubahan sistem dan data di dalam sistem komputer tersebut.
“Oleh sebab itu, dikarenakan tingkat kompleksitas dari permasalahan yang timbul dalam keamanan dan kejahatan siber, mensyaratkan keduanya untuk diatur dalam dua legislasi yang terpisah,” terang Koalisi Masyarakat Sipil dalam keterangan pers yang diterima TIMES Indonesia, Jumat (3/10/2025).
Dalam RUU tersebut juga diperkenalkan istilah 'makar diruang siber' dengan ancaman pidana penjara sampai dengan 20 tahun penjara ketika serangan siber dianggap mengancam kedaulatan negara dan/atau pertahanan dan keamanan negara.
Diakomodasi TNI sebagai Penyidik
Ancaman lain terhadap demokrasi dan negara hukum dari RUU ini semakin nyata dengan diakomodasinya TNI sebagai penyidik tindak pidana keamanan dan ketahanan siber.
“Rumusan ini jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 30 ayat (3) UUD 1945, yang menegaskan bahwa TNI bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara, tidak memiliki tugas dan fungsi sebagai penegak hukum,” ungkap Koalisi Masyarakat Sipil.
Menurutnya, perumusan pasal ini kian menunjukkan semakin besarnya intervensi militer dalam kehidupan sipil, di mana proses penegakan hukum pidana merupakan ranah kekuasaan sipil, bukan militer.
Mereka menjelaskan, keterlibatan militer dalam proses penyidikan perkara pidana—termasuk pidana keamanan dan ketahanan siber—tidak hanya bertentangan dengan konstitusi dan UU TNI, tetapi juga mengancam kebebasan sipil dan demokrasi.
“Perumusan pasal di atas menjadi indikasi semakin menguatnya upaya militerisasi ruang siber, yang langkah-langkah sistematisnya terlihat semenjak revisi UU TNI, dengan penambahan tugas operasi militer selain perang, yang berkaitan dengan penanganan ancaman pertahanan siber,” jelasnya.
Selain itu, besarnya risiko abuse of power dalam penyidikan tindak pidana keamanan dan ketahanan siber, juga belum disertai dengan mekanisme akuntabilitas yang memadai.
Mengingat sampai dengan saat ini belum dilakukan pembaruan terhadap UU No. 31/1997 tentang Peradilan Militer. Akibatnya setiap pelanggaran pidana, baik pidana militer maupun pidana umum, termasuk pidana keamanan dan ketahanan siber, yang dilakukan oleh anggota TNI, penuntutannya harus melalui peradilan militer.
“Oleh karenanya pelibatan TNI sebagai penyidik tindak pidana keamanan dan ketahanan siber, justru akan semakin mengancam hak asasi manusia dan negara hukum,” tandas Koalisi Masyarakat Sipil. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Koalisi Masyarakat Sipil Soroti Sejumlah Masalah dalam RUU KKS
Pewarta | : Ahmad Nuril Fahmi |
Editor | : Ferry Agusta Satrio |