TIMES PRIANGAN TIMUR, BANDUNG – Industri jasa keuangan di Jawa Barat mencatat pertumbuhan positif hingga Juli 2025. Namun di balik angka-angka stabilitas yang dipaparkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), terselip cerita lain: ekonomi yang bergerak lebih lambat dari seharusnya.
Kepala OJK Jawa Barat, Darwisman, menegaskan bahwa secara umum sektor perbankan di provinsi ini masih dalam kondisi sehat.
“Total aset, dana pihak ketiga dan kredit semuanya tumbuh. Rasio kredit bermasalah atau NPL pun masih terjaga di 3,58 persen, di bawah ambang batas yang mengkhawatirkan. Loan to Deposit Ratio kita optimal di 90,80 persen,” katanya di Bandung, Selasa (30/9/2025).
Sekilas, kondisi itu menenangkan. Stabilitas terjaga, fungsi intermediasi berjalan. Tetapi pertumbuhan kredit yang hanya 2,79 persen seakan menjadi alarm. Jawa Barat, dengan skala ekonomi yang besar dan beragam, seharusnya bisa lebih berlari kencang.
Data menunjukkan kredit bank umum di Jawa Barat mencapai Rp655 triliun, tumbuh tipis 1,51 persen year on year. Angka ini menempatkan Jawa Barat di posisi kedua setelah DKI Jakarta dengan pangsa 7,87 persen dari total kredit nasional. Namun, bila menengok ke dalam, ada ketimpangan yang mencolok antar sektor.
Sektor rumah tangga masih menyerap kredit paling besar, Rp429 triliun, bahkan tumbuh 6,87 persen. Industri pengolahan stagnan di Rp164 triliun. Sementara itu, sektor-sektor vital justru terpukul. Pertanian, kehutanan, dan perikanan turun 18,04 persen; pengangkutan dan pergudangan anjlok 6,79 persen; perdagangan besar dan eceran melemah 1,90 persen.
“Memang ada kenaikan risiko kredit di sektor-sektor unggulan itu. Maka bank memilih lebih hati-hati. Tapi kehati-hatian yang berlebihan justru bisa membuat pertumbuhan makin tertahan,” ujar Darwisman, Selasa (30/09/2025).
Ia memberi contoh, sektor real estate justru mencatat pertumbuhan 16,41 persen dengan NPL hanya 1,17 persen. Konstruksi naik 12,30 persen, rumah tangga tumbuh 6,87 persen. Dari sini terlihat, bank lebih memilih sektor yang dianggap aman ketimbang menggerakkan kembali roda sektor yang sedang lesu.
Persebaran kredit pun menunjukkan pola menarik. Kabupaten Bekasi menjadi penyerap terbesar dengan Rp172,6 triliun, diikuti Kabupaten Bogor Rp142,29 triliun, Kota Bandung Rp130,46 triliun, dan Karawang Rp73,87 triliun. Namun daerah lain justru dihantui NPL tinggi, seperti Cianjur dengan 7,72 persen, Sukabumi 5,32 persen, hingga Kota Bekasi 5,31 persen.
Kredit UMKM masih menjadi tumpuan. Penyalurannya mencapai Rp189,22 triliun, menjadikan Jawa Barat penerima terbesar kedua secara nasional setelah Jawa Timur. Kredit Usaha Rakyat (KUR) pun telah dinikmati 44.326 pelaku usaha dengan total Rp2,42 triliun, mayoritas diserap sektor mikro. Tetapi masalah klasik tetap ada: rasio kredit bermasalah UMKM nasional masih tinggi di kisaran 6,50 persen.
Yang menarik, justru pasar modal dan fintech menunjukkan gairah berbeda. Jumlah investor pasar modal di Jawa Barat meningkat 11,52 persen menjadi 3,17 juta, dengan transaksi saham melonjak hampir 85 persen hingga Rp40,02 triliun. Fintech lending juga tumbuh 19,78 persen menjadi Rp20,75 triliun, dengan tingkat wanprestasi 3,41 persen—lebih rendah dibanding NPL UMKM.
Fenomena ini bisa dibaca sebagai tanda bahwa masyarakat, terutama generasi muda, lebih percaya diri mencari peluang di luar bank konvensional. “Tugas kami memastikan semua ekosistem keuangan berjalan sehat, baik perbankan, pasar modal, maupun fintech. Tapi kita juga ingin agar perbankan tidak ketinggalan momentum,” kata Darwisman.
OJK Jawa Barat sendiri berusaha mengimbangi lewat program literasi dan perlindungan konsumen. Hingga Agustus 2025, ada 2.078 kegiatan edukasi keuangan dengan 242 ribu peserta. Dari kampanye literasi hingga program 'Kampung Bersih Rentenir' di Bandung, semua diarahkan untuk memperkuat pemahaman masyarakat. Satgas PASTI pun aktif membongkar pinjaman online ilegal.
“Tahun ini saja kami menerima 1.323 laporan terkait aktivitas keuangan ilegal, mayoritas pinjol. Ini tantangan nyata yang harus dibereskan,” jelasnya.
Selain itu, OJK mencoba menghubungkan dunia keuangan dengan pengembangan ekonomi daerah. Salah satu fokusnya adalah komoditas susu sapi perah.
Targetnya, produksi naik hampir 24 persen dalam lima tahun ke depan. Perbankan digandeng untuk membiayai peternak, sementara pemerintah daerah memberi dukungan kebijakan.
Namun semua program itu akan kehilangan makna bila perbankan masih memilih bermain aman. Darwisman menegaskan, “Kredit itu bukan sekadar angka. Itu nyawa dari pergerakan ekonomi. Kalau semua pintu ditutup hanya karena takut risiko, justru sektor usaha yang akan mati.”
Pesannya sederhana namun tegas: Jawa Barat butuh perbankan yang lebih progresif. Stabilitas memang penting, tapi terlalu nyaman di zona aman hanya akan membuat ekonomi jalan di tempat. Dengan potensi besar yang dimiliki provinsi ini—dari industri, UMKM, hingga pasar modal—pertumbuhan kredit 2,79 persen jelas terlalu kecil.
Pada akhirnya, keberanian perbankan mengambil risiko terukur akan menentukan arah Jawa Barat ke depan. OJK sudah menyiapkan regulasi, memberi insentif, bahkan melindungi. Kini giliran bank menjawab: apakah mereka hanya penjaga dana, atau motor penggerak pembangunan ekonomi daerah. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Ekonomi Jabar Melambat, Sektor Perbankan Dituntut Jangan Terlalu Aman
Pewarta | : Djarot Mediandoko |
Editor | : Ronny Wicaksono |