https://priangantimur.times.co.id/
Opini

Pemerintah dan Krisis Biaya Hidup

Minggu, 14 September 2025 - 22:03
Pemerintah dan Krisis Biaya Hidup Iswan Tunggal Nogroho, Praktisi Pendidikan.

TIMES PRIANGAN TIMUR, MALANG – Krisis biaya hidup semakin nyata dirasakan masyarakat Indonesia. Harga kebutuhan pokok terus merangkak naik, ongkos transportasi tidak lagi ramah kantong, sementara pendapatan sebagian besar rakyat tidak mengalami peningkatan signifikan.

Kondisi ini menghadirkan dilema besar, terutama bagi kelompok menengah ke bawah yang paling rentan terhadap tekanan ekonomi. Tidak berlebihan jika krisis biaya hidup disebut sebagai ancaman baru yang menekan daya tahan sosial, bahkan berpotensi menggerus kualitas demokrasi bila tidak segera ditangani secara serius oleh pemerintah.

Fenomena melonjaknya harga kebutuhan pokok tidak hanya dipicu faktor musiman, melainkan juga imbas globalisasi ekonomi, krisis energi dunia, perubahan iklim, dan gangguan distribusi akibat geopolitik.

Indonesia sebagai negara berkembang tidak kebal terhadap turbulensi global tersebut. Namun demikian, masyarakat tentu tetap menuntut peran aktif pemerintah sebagai penyangga utama dalam memastikan harga-harga tetap terkendali, daya beli terjaga, serta jaminan sosial benar-benar hadir sebagai bantalan ekonomi.

Dalam teori ekonomi politik, pemerintah memiliki peran strategis sebagai regulator sekaligus intervensi pasar untuk mencegah kegagalan mekanisme ekonomi. Artinya, ketika harga-harga naik tidak terkendali, negara wajib turun tangan melalui kebijakan fiskal, subsidi, atau pengendalian distribusi.

Masalahnya, sering kali kebijakan yang ditempuh hanya bersifat reaktif dan jangka pendek. Misalnya, operasi pasar atau bansos dadakan yang sejatinya tidak menyelesaikan akar persoalan. Rakyat membutuhkan kebijakan yang lebih sistematis, berkelanjutan, dan menyentuh struktur distribusi serta produksi.

Krisis biaya hidup juga erat kaitannya dengan ketimpangan ekonomi. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa meskipun tingkat kemiskinan menurun secara gradual, kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin masih melebar.

Bagi kelompok atas, kenaikan harga mungkin tidak signifikan, namun bagi masyarakat bawah, perbedaan seribu hingga dua ribu rupiah saja pada harga beras atau minyak goreng dapat mengurangi kualitas hidup mereka. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak hanya dituntut menstabilkan harga, tetapi juga memperkuat proteksi sosial agar kesenjangan tidak semakin akut.

Subsidi energi menjadi contoh klasik yang kerap menjadi perdebatan. Di satu sisi, subsidi dianggap membebani anggaran negara. Namun di sisi lain, pencabutan subsidi secara drastis dapat menambah beban biaya hidup rakyat.

Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang lebih cermat, misalnya skema subsidi tepat sasaran berbasis data yang akurat. Dengan digitalisasi data penerima manfaat, pemerintah bisa menekan kebocoran anggaran sekaligus memastikan bantuan benar-benar sampai pada yang membutuhkan.

Selain itu, peran pemerintah dalam memperkuat ketahanan pangan menjadi kunci utama. Krisis biaya hidup paling terasa dari lonjakan harga bahan makanan. Jika ketergantungan pada impor masih tinggi, maka Indonesia akan terus rentan terhadap guncangan global.

Pemerintah harus berani membangun sistem pertanian modern yang tidak hanya berbasis produksi massal, tetapi juga didukung teknologi, distribusi yang efisien, serta perlindungan terhadap petani. Tanpa itu semua, program swasembada pangan hanya akan menjadi jargon politik tanpa dampak nyata.

Di era digital, transparansi juga menjadi bagian penting dalam mengatasi krisis biaya hidup. Publik semakin kritis dan mudah mengakses informasi. Ketika ada lonjakan harga, masyarakat ingin tahu penyebabnya: apakah akibat distribusi yang macet, praktik kartel, atau permainan harga oleh spekulan.

Pemerintah tidak boleh hanya menyalahkan pasar, melainkan harus mampu menunjukkan data, menjelaskan langkah yang diambil, serta menindak tegas pihak-pihak yang mengganggu stabilitas ekonomi rakyat.

Aspek lain yang sering terlupakan adalah pentingnya pemberdayaan masyarakat agar tidak sekadar menjadi objek kebijakan. Pemerintah bisa melibatkan komunitas lokal, koperasi, hingga UMKM dalam skema distribusi kebutuhan pokok.

Dengan model ini, tidak hanya stabilitas harga yang terjaga, tetapi juga roda perekonomian rakyat kecil ikut berputar. Pola pikir yang menempatkan rakyat sebagai subjek pembangunan harus benar-benar diterapkan agar solusi krisis biaya hidup tidak sekadar tambal sulam.

Namun yang paling mendasar adalah komitmen politik. Sering kali kebijakan ekonomi berbenturan dengan kepentingan politik jangka pendek. Pemerintah tergoda mengambil langkah populis yang sementara menyenangkan masyarakat, tetapi mengorbankan stabilitas jangka panjang.

Padahal, keberanian mengambil keputusan strategis yang mungkin tidak populer adalah ukuran sejati kepemimpinan negara. Dalam konteks krisis biaya hidup, komitmen ini harus ditunjukkan dengan konsistensi kebijakan, bukan sekadar retorika di panggung publik.

Masyarakat tentu tidak menutup mata terhadap kompleksitas persoalan global yang memengaruhi harga-harga. Namun, rakyat hanya ingin merasakan kehadiran negara dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Pemerintah tidak harus menjanjikan hal-hal muluk, cukup dengan memastikan kebutuhan pokok terjangkau, transportasi tidak membebani, serta pendidikan dan kesehatan tetap bisa diakses dengan layak. Itulah ukuran nyata keberhasilan sebuah pemerintahan dalam menangani krisis biaya hidup.

Krisis biaya hidup bukan sekadar soal ekonomi, tetapi juga persoalan keadilan sosial. Pemerintah yang hadir dan berpihak pada rakyat kecil akan melahirkan kepercayaan sosial yang kuat, sementara pemerintah yang abai hanya akan memperbesar jurang ketidakpuasan.

Oleh karena itu, jalan keluar dari krisis biaya hidup harus dimulai dari keberanian pemerintah untuk memposisikan diri sebagai pengayom, bukan sekadar pengelola anggaran. Rakyat menunggu bukti nyata, bukan janji tanpa arah. (*)

***

*) Oleh : Iswan Tunggal Nogroho, Praktisi Pendidikan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Priangan Timur just now

Welcome to TIMES Priangan Timur

TIMES Priangan Timur is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.