TIMES PRIANGAN TIMUR, JAKARTA – Seruan mogok nasional terus bergulir. Ketidakjelasan pembayaran utang tunjangan kinerja dosen ASN Kemendiktisaintek (Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi) yang hingga saat ini belum menemukan titik terang.

Aksi demonstrasi oleh Dosen ASN pada Senin (3/2/2025) lalu yang dilaksanakan di Jakarta dan seluruh kampus PTN belum mendapatkan respon yang baik dari pemerintah.

Sam Ardi, salah satu dosen ASN Kemendiktisaintek yang tergabung dalam ADAKSI wilayah Jawa Timur menyatakan bahwa, aksi mogok menjadi tindakan terakhir dosen. Saat ini sedang dibahas terkait kesepakatan aksi tersebut.

Sam Ardi juga kecewa dengan sikap pimpinan PTN besar yang sama sekali tidak bersikap atas ketidakadilan selama satu dekade terakhir. Bahkan suara dosen dari PTN besar seperti UI dan UGM nyaris senyap.

"Kami sedang konsolidasi internal untuk tindak lanjut pengabaian hak oleh pemerintah selama sepuluh tahun terakhir," tegasnya.

Sementara itu, Slamet Widodo, salah satu dosen anggota Serikat Pekerja Kampus (SPK) juga turut menyayangkan lambannya pemerintah selama ini.

Menurutnya, gerakan menuntut tunjangan kinerja adalah bukan hal baru. Sejak tahun 2013 gerakan sudah muncul, namun baru akhir-akhir ini menjadi masif. Menurutnya ini adalah bukti semakin sadarnya dosen, utamanya dosen muda, atas ketidakadilan dan diskriminasi. 

"Mogok nasional bukan hal tercela. Buktinya hakim beberapa waktu lalu juga mogok. Bahkan Sekjen Kemendiktisaintek, Togar, juga pernah aksi mogok," jelasnya.

Slamet Widodo menambahkan, aksi mogok ini tidak hanya masalah keberanian atau tidak. Namun ada pertimbangan nurani sebagai pendidik. "Dilema ini dirasakan oleh seluruh dosen ASN Kemendiktisaintek," ucapnya.

Slamet Widodo dan Sam Ardi juga menegaskan, suatu ketidakadilan jika aksi mogok nanti terjadi hanya menyalahkan dosen.

Menurut keduanya, mogok adalah imbas dari kebijakan pemerintah mulai akhir masa Susilo Bambang Yudhoyono, Joko Widodo hingga masa awal Presiden Prabowo. Jajaran menteri mulai M Nuh, M Nasir, Nadiem Makariem, hingga Satryo Soemantri Brodjonegoro, semuanya memiliki andil. (*)