TIMES PRIANGAN TIMUR, WONOGIRI – Pergantian Menteri Keuangan dari Sri Mulyani Indrawati ke Purbaya Yudhi Sadewa pada September 2025 bukan sekadar pergantian kursi birokrasi. Ia adalah momen politik-ekonomi yang akan menentukan arah Indonesia di tengah gelombang ketidakpastian global dan keresahan domestik. Publik tentu bertanya, apakah pergantian ini sekadar kosmetik politik, ataukah benar-benar awal dari cahaya baru bagi ekonomi Indonesia?
Dalam berbagai pernyataannya, Purbaya menekankan target pertumbuhan 6–7 persen, menjaga defisit tetap terkendali, hingga mengoptimalkan pendapatan non-pajak. Semua itu terdengar menjanjikan, tetapi kita tahu: jargon pertumbuhan tanpa pembenahan struktural hanyalah mimpi di atas kertas.
Tantangan terbesar bangsa ini bukan semata soal angka pertumbuhan, melainkan soal kualitas pertumbuhan itu sendiri. Apakah pertumbuhan akan melahirkan lapangan kerja bermartabat, menutup jurang kesenjangan, dan memastikan keberlanjutan lingkungan? Atau justru melanggengkan model lama: pertumbuhan yang tinggi, tapi rapuh di akar?
Purbaya berbicara tentang disiplin fiskal, ketahanan APBN, dan pentingnya menjaga utang tetap terkendali. Itu penting, namun kita harus berani mengajukan pertanyaan kritis: bagaimana disiplin fiskal itu dipraktikkan di tengah budaya belanja negara yang sering boros, penuh proyek pencitraan, dan sarat kepentingan politik?
Menjaga defisit bukan hanya soal menahan belanja, tetapi juga menata prioritas. Jangan sampai rakyat kembali jadi korban penghematan, sementara elite nyaman dengan privilese.
Reformasi struktural yang dijanjikan Purbaya juga harus dilihat dengan kacamata realistis. Diversifikasi penerimaan negara tidak bisa hanya jargon, sebab selama ini pajak tetap menjadi penopang utama APBN.
Jika pajak terus digenjot tanpa memperhatikan daya tahan rakyat, yang terjadi hanyalah pajak yang mencekik. Harapan pada pendapatan non-pajak seperti dividen BUMN atau optimalisasi aset negara harus diwujudkan secara konkret, bukan sekadar wacana dalam konferensi pers.
Dalam konteks ini, transformasi digital yang diusung Purbaya bisa menjadi jalan terang asal tidak berhenti pada euforia aplikasi baru atau sistem pembayaran digital semata. Digitalisasi harus menyentuh hal paling mendasar: transparansi anggaran dan keterlibatan publik.
Rakyat harus bisa mengakses dengan mudah ke mana uang negara dibelanjakan, bagaimana kinerja utang dikelola, dan sejauh mana belanja negara berdampak pada kesejahteraan mereka. Tanpa transparansi, digitalisasi hanya menjadi kosmetik teknologi.
Salah satu poin penting yang disampaikan Purbaya adalah keterbukaan dan kolaborasi. Ia berharap kebijakan fiskal lahir dari dialog dengan DPR, swasta, dan masyarakat.
Harapan ini patut diapresiasi, tetapi di titik ini kita juga harus mengingatkan: kolaborasi bukan berarti kompromi politik yang mengorbankan kepentingan rakyat. Kolaborasi sejati adalah membuka ruang partisipasi publik secara luas, bukan hanya mendengarkan suara elite ekonomi di Jakarta.
Di tengah semua harapan itu, ada satu kenyataan yang tidak boleh dilupakan: ekonomi Indonesia saat ini masih jauh dari kata terang. Harga pangan sering bergejolak, ketergantungan impor belum teratasi, lapangan kerja berkualitas masih minim, dan kesenjangan antarwilayah tetap menganga. Tantangan fiskal bukan sekadar angka, tetapi realita yang dirasakan rakyat setiap hari di pasar, di sawah, dan di pabrik.
Maka, menanti ekonomi Indonesia terang bukan semata urusan Menteri Keuangan baru. Ia adalah tanggung jawab kolektif: pemerintah harus berani jujur soal kondisi riil, DPR harus menjalankan fungsi pengawasan dengan serius, dunia usaha harus ikut menopang produktivitas nasional, dan masyarakat sipil harus mengawal agar kebijakan fiskal berpihak pada rakyat. Tanpa itu semua, pergantian menteri hanyalah rotasi kursi, bukan momentum perubahan.
Purbaya bisa saja menyalakan lilin kecil harapan. Namun, cahaya terang ekonomi Indonesia hanya akan hadir jika lilin itu dijaga bersama. Rakyat menanti bukan sekadar angka pertumbuhan, tetapi bukti nyata bahwa setiap rupiah uang negara benar-benar kembali untuk kesejahteraan mereka. (*)
***
*) Oleh : Indra Setiawan, S.E., M.M., Dosen Prodi Ekonomi Syariah, Kepala LPM STAIMAS Wonogiri dan Ketua Koppang Ngudi Rukun.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Ekonomi Harapan Indonesia
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |