TIMES PRIANGAN TIMUR, JAKARTA – Ambisi pemerintah terhadap program Makan Bergizi Gratis (MBG) tercermin dari alokasi anggaran yang sangat fantastis. Berdasarkan data yang dirilis negara, anggaran yang dialokasikan untuk program ini pada tahun 2025 mencapai Rp 71 triliun dan melonjak drastis hingga Rp 335 triliun pada tahun 2026. Angka ini bahkan melampaui anggaran pendidikan, yang menimbulkan pertanyaan besar mengenai prioritas kebijakan.
Namun, di balik alokasi anggaran yang masif, fakta di lapangan menunjukkan hal yang kontradiktif. Per 24 September 2025, kasus keracunan akibat konsumsi makanan dari program MBG telah mencapai angka yang mengkhawatirkan. Kasus terparah terjadi di Kabupaten Bandung Barat, di mana ratusan pelajar mengalami keracunan.
Kompas merilis data kasus keracunan sebanyak 4.711 siswa di seluruh Indonesia. Sedangkan data dari berbagai lembaga, seperti Badan Gizi Nasional (BGN), Kementerian Kesehatan, dan BPOM, menunjukkan total kasus keracunan sudah mencapai lebih dari 5.000 siswa, dengan Jawa Barat sebagai wilayah sebaran terbanyak.
Keracunan ini bukan sekadar insiden, melainkan cerminan dari minimnya pengawasan dan kontrol kualitas. Laporan dari Kompas.id dan berbagai media lain mengungkapkan praktik-praktik yang tidak higienis, seperti memasak makanan di malam hari untuk konsumsi siang hari, hingga dugaan adanya kandungan minyak babi pada nampan stainless MBG.
Ironisnya, guru yang seharusnya menjadi mitra dalam pengawasan justru tidak dilibatkan dalam perencanaan dan implementasi, namun sering kali menjadi pihak yang dijadikan tumbal (disalahkan) ketika terjadi insiden keracunan.
Politik Sentralistik dan Dugaan Penyimpangan
Isu lain yang tak kalah penting adalah dugaan korupsi dan ketidaktransparanan dalam pengelolaan anggaran. Meskipun Badan Gizi Nasional (BGN) membantah adanya celah korupsi, program ini dituding hanya melibatkan segelintir orang atau kelompok tertentu dalam pelaksanaannya.
Isu ini diperkuat oleh laporan yang menyebutkan adanya dugaan penyalahgunaan anggaran, seperti yang dilansir oleh Kompas.id. Pengelolaan yang tertutup ini sangat rentan terhadap praktik korupsi dan penyimpangan, yang pada akhirnya merugikan tujuan utama program.
Realisasi anggaran yang masih terlaksana 18,3% menjelang akhir tahun 2025 ini sangat berpotensi menjadi celah untuk disalahgunakan oleh segelintir pihak yang terlibat. Ini bisa dilihat dari tidak transparannya pemanfaatan anggaran MBG yang diimplementasikan di lapangan.
Jika pemerintah dari pucuk kepemimpinan hingga tingkat desa berani secara transparan mengumumkan keuangan di suatu kanal khusus realisasi MBG, maka perlu diapresiasi, inilah sedikit kemajuan kita. Jika tidak, maka bersiap menerima realitas praktik kleptokrasi yang tersistem.
Dalam kerangka teori kebijakan publik, pendekatan yang digunakan dalam program MBG ini sangat mirip dengan teori elit (elite theory) yang dikembangkan Robert Michels. Kebijakan ini dipandang sebagai refleksi dari nilai-nilai dan kepentingan kelompok elit yang berkuasa, bukan sebagai hasil dari proses deliberatif yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan (stakeholders).
Keterlibatan yang minim dari masyarakat sipil, guru, orang tua, badan pengawas makanan dan ahli gizi di tingkat akar rumput menunjukkan bahwa kebijakan ini dijalankan secara top-down tanpa mempertimbangkan partisipasi dan kebutuhan di lapangan.
Selain itu, fenomena ini juga dapat dilihat melalui lensa teori neo-institusionalisme (New Institutionalism) oleh Paul J. DiMaggio dan Walter W. Powell. Teori ini menekankan bahwa organisasi dan institusi tidak hanya dipengaruhi oleh faktor-faktor teknis dan ekonomi, tetapi juga oleh norma-norma, simbol, dan ritual yang berlaku di lingkungan mereka.
Dalam konteks MBG, program ini dijalankan dengan mekanisme yang tampaknya "rasional" (anggaran besar, struktur birokrasi), tetapi secara faktual banyak masalah karena birokrasi terlalu kaku dan tidak adaptif terhadap kondisi di lapangan.
Kebijakan ini terlihat "bagus di atas kertas" namun gagal dalam implementasi karena adanya isomorfisme koersif, di mana tekanan dari pusat (pemerintah) memaksa unit-unit di bawah untuk mengadopsi struktur atau praktik tertentu tanpa mempertimbangkan efektivitasnya.
Pemerintah melalui berbagai perangkatnya juga menunjukkan ketidaktegasan dalam belajar dari kesalahan. Meskipun kasus keracunan terus berulang, respons yang diberikan cenderung reaktif dan tidak menyentuh akar permasalahan sistemik. Alih-alih menghentikan atau mengevaluasi total program, pemerintah terus berupaya "menyelamatkan program" ini tanpa perbaikan fundamental.
Hentikan atau Perbaiki Sistem?
Problem dasar dari ketidaksuksesan MBG adalah politik tunggal yang hanya melibatkan segelintir pihak. Jika program ini ingin berlanjut dan berhasil, diperlukan evaluasi total dan perbaikan sistematis. Keterlibatan seluruh elemen masyarakat, termasuk guru, orang tua, komunitas lokal, dan ahli gizi, harus menjadi prioritas.
Ada dua opsi yang perlu dipertimbangkan secara serius. Pertama, penghentian program. Program MBG yang telah menjadi penyerap anggaran terbesar negara dapat dihentikan jika semakin banyak siswa keracunan. Anggaran triliunan rupiah tersebut dapat dialihkan ke program pendidikan gratis, yang secara nyata dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui jalur pendidikan formal.
Kedua, evaluasi dan perbaikan sistem. Jika program ini tetap ingin dilanjutkan, perbaikan harus dilakukan secara menyeluruh dari pucuk pimpinan hingga implementasi di akar rumput. Ini mencakup peningkatan transparansi anggaran, pelibatan aktif semua pihak, pengawasan yang ketat oleh lembaga independen seperti BPOM, serta penerapan sanksi tegas bagi para pelaksana yang lalai.
Tanpa upaya ini, program MBG akan terus menjadi "proyek" yang hanya menyerap anggaran tanpa memberikan manfaat maksimal bagi anak-anak Indonesia.
Pilihan ada di tangan pemerintah. Apakah akan terus memaksakan kebijakan yang problematik, atau berani mengambil langkah tegas untuk melakukan perubahan demi masa depan anak bangsa yang lebih baik.
***
*) Oleh : Ali Mursyid Azisi, M.Ag, Founder The Indonesian Foresight Research Institute (IFRI) & Pengamat Sosial-Politik.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Politik Tunggal Program MBG
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |